Selasa, 27 November 2012

GLADIOL


 Gladiol
Memory of Us...


=========================================================
Balikpapan, 5  Agustus 2012
Seorang pria duduk tenang di salah satu meja, dihadapannya ada sebuah kotak kecil bersampulkan kertas kado bermotif bunga. Dengan lemah, ia membuka penutup kotak tersebut lalu meraih beberapa lembar kertas dan membacanya satu persatu.

Undangan Pernikahan


Lian Prasetya &  Maya Agustin

01 Agustus 2008
 -----------------------------------------------------

Balikpapan, 28 Mei 2012

 “Ada pesanan lain, Mas ?”

 Lian mengernyit heran ketika membaca nametag yang tersemat di dada kiri si pelayan, Yoga. Pria itu bukan seorang karyawan melainkan pemilik kafe ini, Gladiol. Yoga hanya terkekeh kecil,  keduanya memang sudah saling mengenal sejak Gladiol baru mulai berdiri tiga tahun silam.

 “Mas Yoga ?”  salah satu pegawai di kafe menghampiri Yoga dengan sebuah vas berisi bunga di tangannya. “Ini mau ditaruh dimana, Mas ?” tanyanya.

Yoga menepuk dahinya, “Ah ya, nanti aku saja yang taruh sendiri” ucapnya mengambil bunga itu lalu meletakkannya diatas meja.  Tanpa sadar Lian memandanginya lama, menikmati keindahan yang dipancarkan bunga yang menjadi identitas kafe ini. Sword Lilly atau Gladiol, ia hapal dengan seluk beluk tentang bunga berwarna putih bersih itu dan merasa bunga tersebut memiliki makna lebih dalam dari yang ia ketahui. Tak lama kemudian terdengar suara dentingan bel yang sengaja dipasang di atas pintu kafe, Yoga melempar senyum dan mulai menghampiri pengunjung yang datang dan meninggalkan Lian bersama bunga Gladiolnya. Pintu Kafe terbuka kembali, kali ini Lian ikut mendongak dan menemukan sepasang mata tengah menatapnya.

Hanya tiga detik, tatapan mata teduh itu seketika mampu membuat Lian tidak berkedip. Deheman Yoga berhasil mengembalikan kesadarannya, “Bunganya aku ambil ya”

Lian mengangguk singkat lalu kembali mencari sosok wanita yang tadi dilihatnya, ia menghela nafas lega ketika mendapati sosok wanita itu duduk hanya berjarak beberapa meter darinya.

Love at the first sight” kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Lian. Namun detik berikutnya ia menggeleng kuat, menepis pemikiran konyol itu dari benaknya. Lian bukan orang yang gampang percaya dengan hal-hal yang berbau romantis.

Mau kemana ?” tanya Yoga saat melihat Lian membereskan barang-barangnya.

“Kembali ke kantor” jawabnya singkat lalu beranjak pergi. 

Tepat di depan pintu, ia menoleh ke arah wanita yang rupanya tengah mengarahkan pandangannya kearah Lian. Wanita itu tersenyum kecil, memperlihatkan lesung di pipi kirinya. Lian mengerjap beberapa kali, seakan takjub dengan keindahan yang terhampar dihadapannya.

Sebuah tepukan pelan di pundak Lian membuatnya kembali tersadar, “Ada barang yang tertinggal ?” Lian menjawab dengan sebuah gelengan singkat. Ia kembali mendongak namun wanita itu kini tengah berkonsentrasi dengan buku di tangannya. Lian menghela nafas pelan lalu tersenyum kecil sebelum melangkah keluar dari kafe.
---------------------------------------------------
“Maaf, apa kursi disini kosong ?” suara rendah itu mampir ke telinga Lian. Ia mendongak dan mendapati seorang wanita berdiri dihadapannya. Lian mengernyit, masih sedikit kaget dengan kehadiran wanita itu, “Kursi yang lain sudah penuh

Lian tersadar dan mengangguk, “Silahkan” jawabnya. Wanita itu lalu mengambil tempat tepat di depan Lian, tak jauh dari meja yang di atasnya terdapat vas berisi bunga Gladiol. Alis Lian saling bertaut, merasa kenal dengan sosok yang sekarang duduk dihadapannya. Ah, wanita yang dilihatnya dua minggu lalu di kafe ini. 
Hening menyeruak diantara keduanya, tidak ada sepatah katapun yang terlontar dari bibir Lian maupun wanita yang sekarang asyik dengan buku ditangannya. Bukan hal yang aneh memang, karena keduanya tidak saling mengenal dan merasa tidak perlu untuk berbasa-basi. Lian menghela nafas, mencoba untuk mencari kegiatan lain selain memandang objek dihadapannya. Ia mengedarkan pandangan ke penjuru kafe namun lagi-lagi kepalanya memaksa untuk tetap memandang wanita dihadapannya.

“Terkadang hati dan pikiran memang tidak sejalan” batinnya. Ia lalu memilih untuk mengambil buku sketsanya dan mulai menggambar bunga Gladiol yang tak jauh darinya. Menit demi menit berlalu, kertas putih itu kini mulai terisi oleh sebuah gambar. Lian masih berkonsentrasi pada buku sketsanya ketika wanita itu menyapa,  “Mas, saya duluan ya ! Terima kasih” pamitnya.

“Ya, terima kasih kembali” jawab Lian lugas. Ia melempar senyum hingga wanita itu terlihat menghilang dibalik pintu lalu kembali memberikan sentuhan terakhir untuk gambarnya. Tangan lincah Lian berhenti, dahinya mengernyit. Sejak kapan sosok wanita tadi juga tergambar jelas tepat di samping bunga Gladiol ?

Lian mengacak rambutnya asal, merasa bahwa anggota tubuhnya tidak bisa diajak berkerja sama. Mulai dari mata, tangan dan yang baru disadarinya adalah perasaan meluap-luap di dalam hati ketika mendengar suara wanita itu. “Ah, mungkin hanya perasaanku saja” itu suggesti Lian pada dirinya sendiri meskipun ada suara kecil dalam benaknya yang menyerukan sebuah kata,
Jatuh cinta
-------------------------------------------------------
Seiring dengan waktu yang terus bergulir, Lian semakin sering bertemu dengan wanita itu. “Maya” wanita itu balas menjabat tangan Lian ramah. Sedikit obrolan basa-basi, Maya menjelaskan alasanya menyukai kafe Gladiol, “Bunga Gladiol, saya suka bunga ini dan saya sangat senang begitu tahu ada kafe yang menjadikan bunga tersebut sebagai identitasnya”

Lian menemukan sisi lain dari Maya yang membuatnya semakin tertarik pada wanita itu. Maya adalah seorang wanita yang berpengetahuan luas, wajahnya memang tidak secantik wanita-wanita yang pernah ditemui Lian tapi Maya punya lesung di pipi kiri yang membuatnya terlihat lebih manis. Tutur kata yang sopan dan berkharisma. Lian selalu suka ketika Maya mulai bercerita tentang banyak hal yang ia ketahui, sama sekali tidak terkesan sombong atau menggurui.

“Kapan-kapan saya ajak kamu ketemu Yoga ya” ajak Lian suatu hari. 

Maya hanya mengangguk kecil.

“Yoga pasti senang bertemu denganmu”
--------------------------------------------------------
Tidak terasa tiga bulan berlalu, Lian tidak pernah bertemu dengan Yoga karena sahabatnya itu sedang sibuk mengurus kafe keduanya. Sebagai gantinya, Maya menjadi teman setianya di Gladiol. Tidak ada kata cinta atau romantis yang terucap, tetapi Lian yakin bahwa Maya juga memiliki perasaan yang sama dengannya.

Bel pintu masuk Gladiol berdenting, “Yoga !” panggil Lian sumringah. Yoga juga terlihat senang karena akhirnya bisa kembali ke Gladiol. Mereka saling berjabat tangan, menepuk pundak seakan-akan mereka sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu.

“Bagaimana kabar kafe mu ?”

Yoga menjatuhkan diri di kursi kosong di depan Lian, “Insya Allah bulan depan sudah bisa beroperasi”

Lian menepuk pelan pundak sahabatnya itu dan percakapan mereka terus berlanjut, hingga akhirnya mengarah pada topik wanita. Lian mulai bercerita bagaimana hari-harinya berubah dan bahkan menyatakan bahwa pilihan hatinya jatuh pada wanita yang baru dikenalnya selama 3 bulan itu. Yoga mulai memberikan saran, “Aku tahu kamu sudah jatuh cinta dengannya tapi alangkah baiknya kamu tahu latar belakang dia...”

“Aku rasa tiga bulan waktu yang cukup buat kami untuk saling mengenal” ujar Lian.

“Tapi Yan—“

“Aku sudah menentukan pilihan Ga, aku sudah cocok dengan Maya” potong Lian cepat, membuat Yoga terlihat terkejut.

“Siapa namanya ?” tanya Yoga lagi.

Lian menyunggingkan senyum, “Maya” ucapnya. “Maya Agustin” ulangnya lagi. Ia merogoh tas kerjanya dan mengeluarkan buku sketsa. Lembar demi lembar terbuka hingga sebuah gambar wanita terlihat.

Senyum diwajah Yoga mulai memudar. Tangannya mengepal kuat, “Aku rasa kamu perlu mempertimbangkan lagi hubunganmu dengan wanita itu” suara Yoga terdengar bergetar.

“Tapi aku berniat melamarnya dalam waktu dekat ini” Lian menutup buku sketsanya.

“Jangan !” Yoga menolak keras keputusan Lian untuk meminang Maya, “Aku rasa kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu akhir-akhir ini Yan, lebih baik kamu pulang dan beristirahat” Yoga menahan pergelangan tangan Lian yang berniat pergi.

“Apa maksudmu ? Kamu tidak setuju aku meminang Maya ?”                                           

“Bukannya tidak setuju Yan,tapi—“ desahan nafas pasrah Yoga membuat Lian semakin bingung.

“Sebaiknya kamu menemui psikiater, aku punya teman yang bisa mem..”

Lian menampik tangan Yoga kasar, “Psikiater ?!” serunya. Beberapa pengunjung Gladiol mulai melihat kearah mereka. Yoga tersenyum kecil meminta maaf dan menarik Lian keluar.Begitu tiba di luar, Lian menepis tangan Yoga gusar. “Apa maksudmu ? Kamu fikir aku gila ?”

Yoga menggeleng, “Aku tidak menganggap kamu gila hanya saja aku rasa kamu perlu kesana, pergi kesana belum tentu kamu gila” terangnya berusaha untuk tidak melontarkan kata-kata yang akan melukai perasaan Lian.

Lian mendesis kesal, tatapannya mengarah tajam pada Yoga. “Keputusanku sudah bulat, aku akan melamar Maya”

“Ini demi kebaikanmu juga, Yan !” Ia menahan pundak Lian gusar namun hal itu malah membuat Lian naik pitam. Sebuah bogem mentah mendarat mulus di pipi Yoga dan membuatnya tersungkur di tanah. Yoga meringis nyeri, ia berniat bangkit untuk menahan Lian namun terlambat. Sahabatnya itu sudah pergi meninggalkannya tanpa permintaan maaf.
---------------------------------------------------------------
Untuk pertama kali dalam hidupnya Lian bersikap kasar pada orang lain. Meskipun ia sering mendengar orang lain berkata bahwa dirinya tidak ramah, tetapi ia tidak pernah menggunakan kekerasan apalagi pada sahabatnya sendiri. Malam ini, Lian merasa bahwa dirinya terlalu berlebihan.

Di dalam kamar, Lian merenungi sikap kasarnya pada Yoga tadi. Ia terlalu emosi karena merasa Yoga tidak setuju dengan keputusannya meminang Maya padahal Lian yakin bahwa perjalanan cintanya akan mulus. Di satu sisi, Lian ingin menjadi seorang yang egois demi kelanjutan hubungannya dengan Maya tapi disisi lain, ia tidak ingin mengabaikan nasihat Yoga. Bagaimanapun juga ia dan Yoga sudah seperti saudara kandung dan sama sekali tidak ingin hubungan mereka rusak karena urusan cinta.

Kebimbangan mulai menggerogoti benak Lian, seakan hidup memintanya untuk memilih diantara persahabatan ataukah urusan cinta. Haruskah persahabatan yang mereka jalani selama bertahun-tahun rusak karena Lian lebih memilih wanita yang baru dikenalnya selama 3 bulan terakhir ?
----------------------------------------------------------------------
Lian melirik jam di pergelangan kirinya, sudah dua hari wanita pujaannya itu tak kunjung datang. Maya tidak pernah menghubunginya ataupun menemui Lian lagi padahal ia sangat ingin bertemu dengan Maya. Mata Lian memicing kearah kasir, ada Yoga disana yang juga sedang memperhatikannya. Memberikan isyarat agar Lian berhenti untuk menunggu.

Lian mulai khawatir, kemana Maya ? Disaat ia sangat membutuhkan kehadirannya, wanita itu malah menghilang tanpa kabar. Mungkinkah ini sebuah pertanda bahwa Lian harus memilih persahabatan dibandingkan cinta ? Lian kembali dihantam gelombang kebimbangan yang membuat kepalanya berdenyut sakit. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya lambat. Perlahan Lian bangkit dari posisinya dan berjalan kearah kasir.

“Kapan dan dimana aku bisa bertemu dengan psikiatermu ?”
--------------------------------------------------------------
Keputusan Lian untuk berkonsultasi dengan seorang psikiater dianggap sebagai sebuah keputusan yang bijak. Dua hari berlalu, konsultasi Lian dengan Dr. Setyawati berjalan mulus. Lian mulai terbuka dan menceritakan perbedaan pendapat antara dirinya dan Yoga serta menghilangnya Maya selama beberapa hari. Setelah merasa cukup menceritakan masalahnya, Dr. Setyawati mengajukan beberapa pertanyaan pada Lian. Awalnya Lian bisa menjawabnya dengan mudah, namun setelah beberapa lama Lian merasa ada sesuatu yang aneh pada hidupnya. 

Setiap kali Dr. Setyawati menanyakan perihal kehidupannya sehari-hari, ada potongan-potongan adegan yang tiba-tiba menyeruak dari memorinya seperti dejavu. Puncaknya ketika Dr. Setyawati menanyakan tanggal hari itu. Tanpa ragu Lian langsung menjawab, “Satu  Agustus, ulang tahun Maya sekaligus bertepatan dengan perayaan ulang tahun pernikahan kami...“ kalimat Lian terputus.

“Selamat hari ulang tahun pernikahan sayang” sebuah kecupan singkat mendarat mulus di pipi kiri Lian. “Semoga pernikahan kita bisa terus langgeng dan segera dikaruniai anak” suara lembut itu berbisik rendah di telinga Lian.


“Amin, hari ini kita mau kemana May ? Mau singgah ke Kafenya Yoga ? Mengenang masa-masa pertama kali bertemu”

Bagaikan film lama yang terputar kembali, rentetan kalimat itu terus terngiang di telinga Lian bersama dengan wajah wanita yang ternyata adalah Maya. Lian memandang bingung ke arah Dr. Setyawati, mungkinkah ini tujuan Yoga memintanya untuk pergi ke psikiater ?
--------------------------------------------------------------------------
“Anda sepertinya pernah mengalami sebuah kejadian traumatik yang berujung pada depresi dan gejala yang anda tunjukkan adalah depresi dengan gangguan psikotik seperti halusinasi...”
Penjelasan Dr. Setyawati terus terngiang di telinga Lian bahkan hingga ia tiba di Gladiol. Ia butuh penjelasan dari Yoga apa yang sebenarnya telah terjadi sehingga Dr. Setyawati mengasumsikan bahwa Lian sedang mengalami depresi berat.

Lian mulai menceritakan hasil konsultasinya pada Yoga, terutama saat potongan-potongan adegan itu muncul begitu saja. Yoga tertegun, sebenarnya ia sudah tahu kondisi kejiwaan Lian sejak konsultasi pertama dilakukan.

Depresi situasional terjadi setelah penderita mengalami sebuah kejadian emosional misalnya kehilangan seseorang atau kematian orang terdekat. Lian sepertinya sudah lupa dengan kejadian itu, tetapi mungkin ada sesuatu yang membangkitkan ingatannya dan membuatnya berhalusinasi”

Yoga akhirnya memutuskan untuk menceritakan kembali pada Lian apa yang telah terjadi empat tahun silam. “Kamu sudah pernah bertemu dengan Maya Agustin sebelumnya di kafe ini, persis seperti  yang kamu alami selama tiga bulan terakhir, semua pernah terjadi empat tahun lalu. Maya sering berkunjung kemari, dari situlah kalian saling mengenal dan akhirnya menikah...Tiga tahun lamanya kalian menikah, namun belum juga dikaruniai keturunan hingga akhirnya pertengkaran antara kalian terjadi”

 Yoga kembali melanjutkan ceritanya, “Awal dari semua petaka ini adalah saat Maya memutuskan untuk keluar dari rumah”

Lian menelungkupkan kepalanya diatas meja. Masih tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja di dengarnya langsung dari mulut Yoga. Kenyataan yang benar-benar memukulnya hingga terpuruk. Yoga menepuk pundak sahabat baiknya itu, sesungguhnya ia juga merasa bersalah atas apa yang dialami Lian selama tiga bulan terakhir. Benar apa yang dikatakan Dr. Setyawati, Lian sebenarnya sudah lupa dan mulai menjalani hidupnya seperti biasa tapi ada sesuatu yang membangkitkan ingatannya. Kejadian di suatu sore bulan Mei lalu, seharusnya Yoga tidak memamerkan bunga yang memiliki banyak kenangan antara Lian dan Maya. Bunga Gladiol.

Balikpapan, 5  Agustus 2012
Sekarang ia ingat semuanya, tentang Maya dan Gladiol. Nama bunga kesukaan Maya sekaligus nama kafe dimana mereka pertama kali bertemu, bunga yang memiliki arti kenangan. Kenangan antara Maya dan Lian.
Bel pintu masuk kembali berdenting, pria itu mendongak dan tersenyum pada wanita yang melambai kearahnya. Ia lalu berdiri menghampiri wanita itu dan membiarkan kertas lain ditangannya tercecer di atas meja,

In memoriam


Maya Agustin

1 Agustus 1986 –  5 Agustus 2011
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
salah satu tugas short story kelas creative writing (C) FIB-UB. Oktober 2012 by Me.
picre : wholeblossoms.com.  


depan cafetaria Universitas Brawijaya, duapuluhtujuh november
nandayubadiah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar